09.00
Kisah Istri Sholehah.
Mengharu biru; kekuatan kata istri shalehah dalam kisah ini
begitu mengena.
Catatan yang diambil dari page di sajadah cinta ini ,
semata-mata ingin
menyebarkan manfaat yang terkandung dalam kisah ini. Semoga
bermanfaat_
Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di
masjid ini
seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk
disampingku,
mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada
pertanyaan itu.
“anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian
akhwat itu .bertanya
lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin
ku jawab karena
masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami”
jawabnya. Aku
melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas
besar lagi yang tak
bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya- tanya, dari
mana mbak ini?
Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk
bertanya “mbak kerja
dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini
seorang pekerja,
padahal setahuku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya
mengabdi sebagai ibu
rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja
lagi” , jawabnya dengan
wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan
hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu
cara yang bisa
membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa
menjadi pelajaran
berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan
didatangi oleh ikhwan yang
sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan
nama kantornya. Gaji
saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti
bakar di pagi hari, es
cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama
kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu
itu jam 7 malam,
suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur,
biasanya sore jam 3 sudah
pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk
angin dan kepalanya
pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta
diambilkan air minum, tapi
saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam
23.30 saya terbangun
dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah
hilang. Beranjak dari
sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya
liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang
bukan mencucinya kalo
bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di
cuci. Astagfirullah,
kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing
tadi malam? Saya
segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi
rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba
mulai memenuhi jiwa
saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas
sekali pipinya, keningnya,
Masya Allah, abi deman, tinggi se kali panasnya. Saya
teringat atas perkataan
terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan
air minum saja, saya
membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya
terlalu sibuk diluar
rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya,
membuat hati ini
merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di
usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan
gaji saya. Sekitar
600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu
saya benar-benar merasa
durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya
merasa tak perlu
meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan
hasil jualannya itu
pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia
selalu berkata “umi,,ini
ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan
kita. Dan tidak banyak
jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu.
Betapa harta ini
membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”,
lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti
bekerja, mudahmudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang
diberikan
suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena
harta juga wanita
sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.”
Lanjutnya lagi, tak
memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang
tua, dan menceritakan
niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua dan
saudara-saudara saya tidak ada
yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah
mereka membandingbandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,
apa aku bisa
seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela
meninggalkan
pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga
untuk anak-anak kita
kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang
yang butuh pekerjaan.
Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang.
Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita
santai-santai aja di
rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga,
seharusnya nikah
sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar
kakak duluan
sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama
orang yang belum jelas
pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya
penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal,
sepertinya suami kakak itu
lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh
saudara sendiri yang ingin
membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami
kakak itu”. Ceritanya
kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai
pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis
bukan Karena apa yang
dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya
menangis karena imam
saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia
meremehkan setiap tetes
keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu,
Allah memandangnya
mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa
membangunkan
saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang
dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin
dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya
untuk melamar saya,
padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan.
Baigaimana mungkin
seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah
dihadapannya
hanya karena sebuah pekerjaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat
orang membandingbandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan
berhenti bekerja
juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya
juga memutuskan
berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga
saya tak lagi
membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas
besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat
bangga, bahkan begitu
menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya
keberanian dengan
pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi
pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami
saya, tak ada rasa malu
baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal.
Itulah yang membuat
saya begitu bangga pada suami saya.
Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak
perlu malu untuk
menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan
masalah
pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan
kita memohon pada
Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang
haram”. Ucapnya
terakhir, sambil tersenyum manis padaku.
Dia mengambil tas laptopnya,, bergegas ingin meninggalkannku.
Kulihat dari
kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor
butut mendekat ke
arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada
niatku menatap
mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah
itu tenang sekali,
wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat
pelajaran paling baik dalam
hidupku.
Pelajaran yang membuatu menghapus sosok pangeran kaya yang
ada dalam
benakku..
Subhanallah..
Sahabat..
Kekeliruan slama ini, orang mengganggap kebahagiaan itu
adalan kaya akan
materi.. mobil mewah.. rumah bagus..
Tapi sesungguhnya kekayaan sebanarnya itu ada saat kita
merasa cukup akan
nikmat ALLAH walaupun tampa ada materi yang bersifat wah..
|
This entry was posted on 09.00
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Total Pageviews
Ridho-Blogger.com. Diberdayakan oleh Blogger.
Popular Posts
-
Menurut Terry (1989) faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengambil keputusan sebagai berikut: hal-hal yang berwujud maupun tidak ...
-
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah popul...
0 comments:
Posting Komentar